12 suara
Selalu
setiap hari, Sumbi menyiapkan bubur gula jawa kesukaan Murwad, suaminya. Bubur
itu ia buat sendiri, dari beras terbaik—rojo lele—yang dicampur santan kelapa
kental, sedikit garam dan ditaburi gerusan gula jawa. Setiap menyajikan bubur
itu, mulut Sumbi selalu mengucap doa untuk keselamatan Murwad yang hingga kini
belum pulang.
Sejak Pasar
Kliwon terbakar, keberadaan Murwad tidak jelas. Ada yang mengatakan, Murwad
tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Seorang bakul sayuran
mengaku melihat Murwad berjalan melayang di antara los-los dan selasar pasar.
”Wajahnya
ringsek! Kasihan sekali. Aku tidak tega melihatnya,” ujar bakul sayuran itu
dengan wajah pucat.
Pengakuan
itu segera menyebar ke seantero pasar. Umumnya orang-orang percaya, Murwad
telah tewas.
Namun, Sumbi
yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi berusaha
mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur gula jawa buat Murwad.
Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum. Dada Sumbi
terasa mengembang.
***
Murwad
mengayun-ayunkan sapunya. Menghalau belasan pasangan yang sedang asyik masyuk
bercinta di sela-sela los pasar. Bangku-bangku dipukulinya. Kursi dan dingklik
dilemparkannya. Suara gaduh menjelang subuh itu membuat beberapa pasangan
kaget. Mereka bergegas bangun. Langsung berlarian. Ada yang setengah telanjang.
Beberapa
pasangan masih bertahan. Ada yang masih berangkulan. Bahkan nekat bercumbu.
”Ayo
minggat! Minggat!” seru Murwad sambil mengacung-acungkan sapu lidi yang
bertangkai panjang, bagai mengacungkan senapan.
Seorang
lelaki gemuk, bertelanjang dada, berdiri. Matanya melotot. Ia mengayunkan
tinjunya ke wajah Murwad, namun Murwad mampu menghindar. Murwad memukul kepala
laki-laki itu dengan tangkai sapu. Laki-laki itu sempoyongan. Jatuh.
”Enak saja
bercinta di pasar! Kalau tidak kuat nyewa losmen, ya cari kuburan!” Murwad
meradang.
Laki-laki itu
kembali menyerang dengan pukulan, namun hantaman sapu Murwad lebih cepat
mendarat di kepalanya. Laki-laki itu pun kabur. Diikuti pasangannya.
Murwad,
dengan wajah keruh, memunguti lembaran-lembaran koran, botol minuman
beralkohol, bungkus jamu kuat lelaki, kondom, dan tikar jebol. Pekerjaan ini
telah ia lakukan berulang kali, setiap menjelang subuh tiba.
”Dasar
sundal! Kalian telah mengotori pasar. Gara-gara ulah kalian, pasar jadi sepi.
Bakul-bakul bangkrut. Awas, jika kalian masih berani bercinta di sini!” Murwad
berteriak-teriak. Suaranya diserap dinding-dinding pasar.
Mendadak
terdengar suara ledakan. Sangat keras. Muncul percikan-percikan api. Makin lama
makin membesar. Menjilat-jilat. Api itu terus menjalar membakar apa saja.
Murwad berlari pontang-panting. Ia berusaha meloloskan diri dari kepungan api.
Tubuhnya menjelma bayang-bayang.
Tubuh Murwad
melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuh itu hendak jatuh,
mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Murwad kaget. Namun, sang penolong
itu membujuknya untuk tenang lewat senyuman.
”Eyang ini
siapa?”
”Namaku Ki
Dono Driyah.”
”Kenapa
Eyang menyelamatkan saya?”
Laki-laki
sepuh itu tersenyum.
”Di mana
saya?”
”Ruang
awung-uwung. Tempat istirah jiwa-jiwa sebelum meneruskan perjalanan menuju
Jagat Kelanggengan.”
”Jadi saya
sudah mati?”
”Jantungmu
masih berdetak. Rabalah….”
Murwad
meraba dadanya. Ia masih merasakan degup jantungnya.
”Saya masih
bisa pulang?”
”Bisa. Kapan
saja. Sekarang?”
”Saya masih
ingin di sini. Ruang ini sangat sejuk. Indah. Terang.”
”Seluruh
dinding ruang ini adalah cahaya….”
Eyang Dono
Driyah bercerita. Dulu dialah yang merintis berdirinya Pasar Kliwon hingga
berkembang menjadi besar. Sebelum memulai kehidupan pasar itu, Eyang Dono
bertapa selama 40 hari untuk mendapatkan wahyu pasar.
”Tuhan
mengabulkan permohonanku. Wahyu itu hadir, berpendar-pendar di atas pasar itu.
Dalam pendaran itu, Tuhan menaburkan rezeki,” ujar Ki Dono Driyah.
”Sekarang,
wahyu itu masih ada, Eyang?”
Eyang Dono
Driyah menatap wajah Murwad. Lalu, menggeleng.
”Kenapa?”
”Aku tidak
tahu persis. Tapi, sejak pasar itu dihuni Genderuwo, suasana jadi aneh. Gerah.
Genderuwo itu selalu meniupkan hawa panas dalam setiap aliran darah, hingga
orang-orang saling membunuh.”
”Tapi di
pasar itu, saya tidak pernah melihat perkelahian atau mayat-mayat….”
”Karena kamu
tidak melihatnya dengan mata batin.”
”Bagaimana
wujud Genderuwo itu?”
”Tinggi dan
besarnya tak bisa dibayangkan. Tubuhnya berbulu hitam. Kasar. Kuku kaki dan
tangannya sangat panjang. Matanya hijau. Bola matanya sangat besar, sepuluh
kali lipat dari danau. Tubuhnya bisa berubah menjadi apa saja. Angin. Api.
Udara. Dia hadir di mana saja, di setiap belahan dunia. Di setiap hati
manusia.”
”Saya ingin
melihatnya. Bisakah Eyang membantu?”
”Kamu belum
siap. Kamu masih kamanungsan. Kamu mesti membebaskan diri dari hasrat-hasrat
kemanusiaanmu. Berpuasalah. Kuat?”
”Kuat,
Eyang. Saya ini terlatih menderita.”
Mendadak
Tubuh Murwad terpental. Melenting ke udara. Melayang. Ia kaget. Tiba-tiba ia
berada di sel penjara. Ia pukuli jeruji sel itu dengan piring seng. Seorang
sipir datang. Matanya melotot. Murwad mengamati kaki sipir itu yang menapak di
lantai. Ia pun yakin, dirinya masih hidup di dunia nyata.
***
”Dengan
berubahnya Pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza maka masa depan itu kini ada dalam
genggaman kita. Dinamika ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin
banyaknya orang belanja.” Wajah Wali Kota Bragalba menyala. Orang-orang tepuk
tangan. Ratusan blitz menghujani wajahnya.
”Masyarakat
yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur!” Bragalba mengunci
pidatonya.
Tepuk tangan
kembali membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza resmi dibuka.
Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya.
”Apa benar,
Pasar Kliwon sekarang dihuni Genderuwo?” tanya seorang wartawan.
”No
comment. Maaf. Saya hanya menjawab pertanyaan yang rasional. Saya tidak
percaya hantu.”
”Tapi
masyarakat sangat percaya soal Genderuwo itu.”
”Itu mitos.
Itu dongeng!”
***
”Saudara
tahu, kenapa saudara ditahan di sini?” ujar seorang pemeriksa dengan ramah.
Murwad
terdiam. Kepalanya terasa pusing diterpa lampu sangat terang.
”Tahu
alasannya saudara ditahan?!”
”Tidak. Saya
hanya melihat pasar itu tiba-tiba terbakar.”
”Bagus.
Berarti saudara ada di lokasi ketika itu.”
”Iya. Tapi,
saya hanya tukang sapu.”
”Itu tidak
penting. Yang penting, saudara mengakui ada di lokasi.”
”Apa tujuan
saudara membakar pasar itu?” tanya pemeriksa yang lain.
”Maaf Pak.
Kenapa pertanyaan Bapak aneh? Saya tidak membakar.”
”Akui saja.
Hukuman saudara akan ringan.”
”Tapi saya
tidak membakar. Tidak, Pak. Tidak.”
”Saudara
sakit. Saudara perlu dokter.”
Beberapa
sosok meninggalkan ruangan. Dua petugas menggelandang Murwad menuju sel
tahanan.
***
Sumbi
mengambil bubur gula jawa yang tadi pagi ditaruhnya di meja dan menggantinya
dengan bubur yang baru, yang masih hangat. Ia berharap, Murwad segera
menikmatinya. Lahap. Seperti biasanya. Agar ia tetap sehat. Dan bisa cepat
pulang. Bayangan wajah Murwad melekat di hamparan bubur panas. Sumbi melihat, Murwad
sangat menikmati bubur itu.
***
Di sel
tahanan, sudah lebih seminggu Murwad tidak mau makan. Makanan itu dibiarkan
saja dirubung lalat. Ia merasakan tubuhnya lemas dan panas. Namun, semangatnya
tetap tinggi untuk tidak menyerah. Para sipir selalu membujuknya untuk mau
makan. Namun selalu ditolaknya.
Pada hari
kesebelas, Murwad merasakan tubuhnya ringan. Melayang. Memasuki lapisan-lapisan
cahaya. Ia melihat Eyang Dono Driyah duduk mengambang di antara dinding-dinding
cahaya.
”Eyang…..aku
melihat Pasar Kliwon berubah jadi bangunan megah dan indah. Penuh cahaya. Tapi
Eyang, aku melihat sosok hitam besar sekali. Ya, dia duduk di sana,” mata
Murwad terpejam.
”Ya, itulah
Genderuwo penguasa pasar!”
”Aduh eyang,
mataku tidak kuat. Pandanganku jadi gelap.”
”Dia memang
sakti sekaligus ganas! Hati-hati. Sekarang lihatlah lagi. Genderuwo itu masih
di sana?”
”Masih….;
Dia menggerakkan tangannya. Tidak hanya dua, tapi banyak sekali. Tangan-tangan
itu berubah jadi belalai panjang dan besar. Ya, ampun pasar itu dibelitnya.
Gumpalan-gumpalan uang itu dihisapnya.”
”Dia lebih
dari rakus….”
”Genderuwo
itu menoleh, Eyang. Dia menatapku. Matanya hijau bikin silau. Gigi-giginya
gemeretak. Taring-taringnya berkilat-kilat.
”Eyangggggg!!!!!!”
***
Tubuh Murwad
tumbang.
Murwad membuka
mata. Pelan-pelan. Ia melihat ruangan yang asing. Serba putih. Bersih.
Selang-selang infus menancap di lengannya.
Seorang
perawat tersenyum kepadanya. Murwad ketakutan. Ia melihat wajah hitam berbulu
kasar, dengan tatapan mata hijau tajam, dengan mulut yang menyeringai, dengan
taring-taring tajam penuh bercak darah.
Mata Murwad
terbelalak. Kedua tangannya seperti menahan tangan-tangan lain yang mencekik
lehernya. Murwad terus meronta. Tubuhnya mengejang. Napasnya terasa berhenti.
Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk ditahan.
Sumbi,
dengan takzim, menaruh bubur gula jawa yang masih panas itu di meja. Tangannya
mendadak gemetar. Piring itu terlepas. Bubur itu tumpah. Ia tak melihat lagi
wajah suaminya dalam hamparan bubur….
taken by shofia aula from Kumpulan Cerpen Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar